2 bulan lalu dia berubah menjadi batu. Otaknya padat, pikirnya melambat. Kasihan dia, tahi ayam disangka coklat. Saking lowong hatinya jadi tempat keramat. Bau dupa dan bunga 7 rupa. Selain pada sabun, rindu sudah tak terukur pada siapa. 1 bulan kemudian dia berubah menjadi mesin cuci. Kepalanya rimbun ditumbuhi mimpi-mimpi. Sampai-sampai mimpi oranglain pun dia beli. Dibingkai dan dipajang dalam hati. Tentang dia dan seseorang yang memakai stelan yang rapi pada suatu resepsi. Semoga tidak terlalu dini, karena malam ini dia akan bermimpi terbang naik seekor sapi. Menemui seseorang di langit yang sedang menanak nasi. Untuk makan bersama dalam jamuan cinta kasih. Bulan ini dia berubah menjadi seblak. Setelah berdamai dengan semua angan dan alur cerita yang amat somplak. Seperti keyakinan seorang petani ganja, dia berharap apa yang ditamannya tidak menjadi blangsak. Ketangguhannya diuji ketika rindu tiba-tiba nabrak. Gubraaakkk!!! Hatinya remuk ditimpuk gumpalan sempak.
Hari yang cerah berangsur menuju temaram. Di taman kota dia duduk sendiri. Menikmati udara segar hasil produksi knalpot motor dan mobil. Nikmatnya sore itu. Polusi yang tinggi, sampah yang berserakan rapi, dan wangi air got yang hitam pekat seperti kopi. Sungguh cantik. Indahnya cinta yang tak terbalas, dan manisnya sakit hati, semua dilahap dengan keterbukaan diri dan bersyukur tinggal di bumi. Bumi yang menjadi tempat kita berjumpa. Dengan dusta, dosa, sakit hati, rindu, cinta dan kecewa. Begitu senangnya ketika kau katakan putus, akhiri hubungan cinta. Atau begitu riang gembira dikala mendapatkan penolakan pada proposal cinta. Biarlah semua terjadi seperti bagaimana seharusnya terjadi. Angin barat, angin timur, angin selatan, angin utara. Kita pasti tegar menghadapi semuanya walau pasti masuk angin. Desember yang genting. Selesai hujan dia duduk menikmati snek ketring. Memandangi ponsel yang tak kunjung berdering. Pesannya ternyata pending. Desember. Hati dan dadanya jadi meriang. H...