Juni. Rasanya era kejayaan mulai memudar. Seperti alis tebal yg luntur terkena hujan besar. Hujan tengah malam yang selalu saja menentramkan. Kalau bagimu tidak, itu terserah kamu punya perasaan.
Juni. Kadang cuacanya panas. Malam jadi gerah. Pagi, siang, sore juga. Namun harus tetap Alhamdulillah. Dan kalau pun editor memintaku menulis buku tentang cinta dan rindu, aku jamin tidak akan sebagus senyum kamu. Kamu adalah bulan Juni rasa bulan purnama. Sederhana saja kamu istimewa.
Juni. Tengah malam. Kepalanya dipatuk oleh burung-burung yang lalu lalang. Sampai pitak dia. Bak diterjang pisau cukur yang gugup memangkas waktu.
Juni. Kadang cuacanya panas. Malam jadi gerah. Pagi, siang, sore juga. Namun harus tetap Alhamdulillah. Dan kalau pun editor memintaku menulis buku tentang cinta dan rindu, aku jamin tidak akan sebagus senyum kamu. Kamu adalah bulan Juni rasa bulan purnama. Sederhana saja kamu istimewa.
Juni. Tengah malam. Kepalanya dipatuk oleh burung-burung yang lalu lalang. Sampai pitak dia. Bak diterjang pisau cukur yang gugup memangkas waktu.
Dulu bulan Juni itu pasti kemarau ketika musim masih bisa diprediksi dan alam masih menurut pada tatatanannya. Karena itulah Sapardi menulis begini:
BalasHapustak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni ....
(Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)
Kalau sekarang Juni mau hujan mau kemarau terserah dia. Karena taka ada lagi yang tersisa dari bijaknya musim.
Bang aku tunggu puisi kau tentang bulan juni 😄
BalasHapusJuli😅
BalasHapusIya bentar ya. Masih sibuk gunting kuku nih.
BalasHapusAku suka Sapardi.
BalasHapus