Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Pithecantropus Decembiostis

Hari yang cerah berangsur menuju temaram. Di taman kota dia duduk sendiri. Menikmati udara segar hasil produksi knalpot motor dan mobil. Nikmatnya sore itu. Polusi yang tinggi, sampah yang berserakan rapi, dan wangi air got yang hitam pekat seperti kopi. Sungguh cantik. Indahnya cinta yang tak terbalas, dan manisnya sakit hati, semua dilahap dengan keterbukaan diri dan bersyukur tinggal di bumi. Bumi yang menjadi tempat kita berjumpa. Dengan dusta, dosa, sakit hati, rindu, cinta dan kecewa. Begitu senangnya ketika kau katakan putus, akhiri hubungan cinta. Atau begitu riang gembira dikala mendapatkan penolakan pada proposal cinta. Biarlah semua terjadi seperti bagaimana seharusnya terjadi. Angin barat, angin timur, angin selatan, angin utara. Kita pasti tegar menghadapi semuanya walau pasti masuk angin. Desember yang genting. Selesai hujan dia duduk menikmati snek ketring. Memandangi ponsel yang tak kunjung berdering. Pesannya ternyata pending. Desember. Hati dan dadanya jadi meriang. H...

Pithecantropus Novocalosis

Keras benar kepalanya. Dihantam palunya Thor pun tak akan menggoyahkan isi pemikirannya. Palunya retak, dirinya tetap tegak. Sebuah kelapa dikupas dari kulitnya. Airnya di minum, dagingnya di kunyah. Bercampur susu kental manis dan sedikit rasa gundah. Dinikmati ketika malam hari pada bulan maulid. Menambah energi, mengurangi racun yang di dapat dari polusi. Hati yang suka tiba-tiba resah, semoga jadi lunak, nyaman dan lembut seperti softex. November. Jangan ragu. Kalau kau tak suka, muntahkan saja. Jika suka, telan dan bayar makanannya. Bulan ini mulai hujan mengguyur. Basahnya, basah. Seperti basah yang basah. Dan kadang panasnya, panas. Seperti panas yang panas. Seperti kasih yang belum kau temui, dan cinta yang terkadang berubah dingin. Itu bagian dari rangkaian perjalanan menggapai mimpi. Dan angin berdesir pelan di gunung karang. Menggibaskan poni ketika kau berjalan santai. Hei awan turunlah kesini. Biar aku bisa merasakan dekapmu dan tertidur dipangkuanmu persis seperti di TV. ...

Pithecantropus Octosilitus

Tiba-tiba dia bergegas menggulung lengan bajunya. Komat-kamit dipikirannya. Kursi dirapikan, teh manis diletakan di meja kaca. Memburu kata yang keburu kabur. Keadaan dan perasaan sedang mendukung. Bismillah, inilah waktunya untuk berkeluh kesah di media sosial. Berharap kasih dari para pembaca. Oktober. Kamu hampir habis. Tinggal beberapa jam saja, kamu berubah jadi bulan lahirnya si nova atau novi. Mungkin juga si geri. Bulan yang dia mulai dengan berkeyakinan bahwa seekor ikan tidak mungkin sanggup memesan ojek online karena tidak punya kuota. Bulan yang selalu dia amini bahwa suatu saat kisah kasih hidupnya lebih cemerlang dari para penikmat harta ayah bunda. Oktober. Tenanglah. Selalu ada pelangi setelah hujan. Nikmati saja dulu susu hangat yang dia seduh sebelum kau tidur. Tidurlah dengan nyaman. Walau esok yang disuguhkan hanya ketiadaan. Tenggak saja. Jangan takut akan masa depan! Semuanya akan terasa kenyang karena yang kau telan adalah sebuah ketulusan.

Pithecantropus Jodohuensis

Halo matahari, apa kabarmu di langit? Sabar dan betahlah kau disana. Jangan turun ke bumi nanti kami jadi merana. Bumi tempat kami tinggal, berkembang biak, buang air dan makan. Hai matahari, semoga kamu sendiri tidak kepanasan. Seorang manusia mencari ilham. Demi yang ideal dan pengertian. Kopi dan senja tidak akan pernah mengenyangkan. Dengan punggung dibalur handbody dan minyak angin cap lang, menanti kasih untuk dijadikan tempatnya pulang. Apa yang kau lakukan ketika dada dan kepalamu runyam? Perut kembung dan pandangan kunang-kunang. Meregang asa saat kerokan. Berharap buang angin berdurasi panjang. Angin ini angin perubahan. Cinta sudah ada sebelum kamu memintanya kepada tuhan. Suatu hari kau pasti temukan. Orang bego yang matanya kelilipan karena memilihmu untuk dia sayang.

Pithecantropus Hiatus

Sementara blog ini bingung mau nulis apa. Banyak yang ingin diucap, ternyata susah untuk dicatat. Sampai jumpa di hari lain. Diwaktu kita saling berbagi rindu, kasih dan cinta. Diwaktu kita saling mengerti satu sama lain.

Pithecantropus Aprimeiramadanus

Aku marah pada batu. Ku hujat, ku caci, dan ku ludahi, dia tetap bisu. Batunya tetap membatu. Mati kutu. Bagai keteguhan hatimu. Yang tak goyah walau ribuan lelaki klimis meminta darahmu. Kau memilihku. Seseorang yang senang dengan makan sorabi sewaktu subuh. April terlewat dengan lupa. Burung-burung terbang dalam udara yang cerah. Satu burung hinggap di celana. Mengeram menunggu di deportasi ke sarangnya. Menanti kasih membelai mesra. Mei dan ramadan sedang berjalan. Di akhir ramadan, orang itu gugup menjelang adzan. Tentang apa yang nanti akan dia hidangkan. Tumis bolham atau sop kaki meja sambal belacan? Semoga semuanya kenyang dan senang, walau yang disuguhkan hanya ketiadaan.

Pithecantropus Marethololus

Meteor jatuh menghantam keras pohon jati. Seisi kampung menjadi riuh, bertanya-tanya "apa setelah ini akan hujan uang di kebun kami?". Banyak harap yang harus dimaklumi. Kampung ini menjadi sunyi setelah ditinggal petani. Dia yang pergi, pergi setelah menanam benih kasih. Seorang peramal sedang meramal dirinya sendiri. Menerka apa yang terjadi jika minum es teh manis dicampur sabun mandi. Dan tahun terus berganti, rindu masih saja mengusik. Raut wajahnya masih saja terngiang meski sedang buang air. Setelah cebokan ketiga, diputuskan, rindu ini harus dituntaskan dengan bertemu kasih. Maret tersisa setengah lagi. Seorang petani diburu peramal pagi-pagi, mau bertanya nasib dikemudian hari. Pintu diketuk berulang kali. Namun petani tidak sanggup memanen benih buah rindunya sendiri. Peramal pergi, pergi setelah menerima wangsit. Tempo hari, dia memilih untuk tidak berpilih kasih. Ini maret sayang, jangan dulu bergegas menuju januari lagi.

Pithecantropus Februditus

Pada genangan air aku bercermin, melihat diriku sendiri berhiaskan belek yang mengering. Ku basuh muka, mengelapnya rata. Membersihkan dari sisa mimpi jahat malam tadi. Boker sejenak, melepas beban yang mulai berat. Di Februari, nyamuk jarang menggerumuti. Di bulan ini, ada kasih yang harus dicumbui. Februari. Dia datang dengan cahaya terang. Ketika harapan hampir padam, ketika mules tiada jamban. Mengetuk pondasi hati sekeras coran. Menyentuh lubuk dengan bahu yang nyaman. Apabila dia tersenyum, banyak burung yang lupa terbang. Jadi ayam. Ketika dia tertegun, awan, angin, cuaca, dan iklim jadi ikut muram. Dia penguasa keadaan. Dia adalah cinta yang banyak para bajingan idamkan. Februari. Perlukah kita menumpang mandi? Bila ada umur panjang, atau saat aliran air PDAM mati. Baiknya kita satu gayung berdua. Berbagi odol dan sabun dalam satu atap kisah. Berdua mengarungi bahtera mandi junub bersama.

Pithecantropus Januarich

Hari ini teduh, esok juga begitu. Bersembunyi dari matahari. Mengeram kata agar bisa membentuk puisi. Rangkaian kalimat yang siap dia bubuhkan di nasi goreng, pada perayaan pilu dan rindu. Hati ini teduh, esok juga begitu. Demi jamur di kulitmu, "apa benar tidak ada namaku dalam daftar malam rindu?"... Katakan bila tak ada. Maka karya sastra ini tak perlu dibuat semanis madu. Cukup dibuat kisut. Agar setiap kau baca, kulitmu jadi mengkerut. Cintamu jadi semaput. Ya, aku tahu. Ini Januari. Seperti lagu Glenn Fredly. Atau mungkin musisi lain. Bulan awal rencana besar. Titik tumpu untuk split yang lebih lebar. Lihatlah itu hujan. Hujan yang sama kau idamkan ketika kepanasan. Hujan yang sama ketika banjir kenangan. Hujanlah dengan damai. Cinta tak perlu dihujan-hujankan.